Jumat, 08 Agustus 2025
Setelah Vakum Lama Alhamdulillah Segera Terbit Buku Baru
Senin, 04 Agustus 2025
Buku Islami : Allah Mencipta Manusia Meniru
Buku Allah Mencipta Manusia Meniru
Oleh Nurul Ikoma dan Fadila Hanum
Penerbit : Tiga Ananda (Imprint Tiga Serangkai)
Ilustrator : Innerchild Std
Masyaallah! Betapa mengagumkannya ciptaan Allah SWT dengan keunikan masing-masing.
Ciptaan Allah ini ternyata menginspirasi manusia untuk membuat berbagai benda dan kreasi yang membantu kehidupan manusia lainnya.
Apa saja ya kreasi manusia yang terinspirasi dari ciptaan Allah SWT? Ayo, cari tahu bersama buku ini.
Buku ini saya tulis bersama Mbak Fadila Hanum. Ada banyak cerita seru di dalamnya, selain menarik ilustrasinya juga cantik. Buku ini bisa dibeli di market place ya teman-teman, bagus untuk menambah wawasan anak-anak.
Buku Islami : Seri Kebenaran Al Qur'an
Buku Seri Kebenaran Al Qur'an
Oleh Nurul Ikoma
Dongeng Bobo : Tarian Pohon Mengkudu
Kilas balik :
Kalau nggak salah saya menulis cerita ini karena tinggal di perumahan yang banyak sekali ditanami pohon mangga. Namun ada satu rumah yang menarik perhatian saya, yakni tidak menanam pohon mangga melainkan menanam pohon mengkudu.
Dari sini saya cari info manfat buah mengkudu. Alhadulillah cerita ini tembus Bobo. Saat melihat ilustrasinya mata langsung berkaca-kaca karena terharu.
Tarian Pohon Mengkudu
Oleh Nurul Ikoma
Namanya
Pohon Mengkudu. Pohon yang dikenal dengan buah buruk rupa ini, suka menari jika
ada angin yang menerpanya.
“Hmmm... haruuum...,” ucap Pohon Mengkudu
meliuk-liuk mengikuti gerakan angin.
Ia
terus menerus mengendus aroma bunga mangga yang ada disekitarnya. Pohon
Mengkudu memang suka aroma wangi bunga mangga. Pohon-pohon mangga jadi
tersenyum geli melihatnya.
“Wah...
lihat! Pohon Mengkudu sedang menari,” kata Pohon Mangga Gadung.
“Kamu
benar-benar lucu, Pohon Mengkudu,” seru Pohon Mangga Manalagi.
“Iya...
ya. Dia selalu membuat kita tertawa,” sahut Pohon Mangga Madu.
Mendengar
itu, Pohon Mengkudu terus menggoyang-goyangkan badannya. Ia senang dengan
ucapan teman-temannya. Namun tiba-tiba angin besar berhembus dan merontokkan
buah-buah Pohon Mengkudu.
Anak-anak
kecil yang kebetulan lewat, mengambil buah-buah itu. Lalu mereka saling
melempar dan membuangnya. Bahkan ada pula yang menginjak-injak atau membanting
buah kuning kehijauan itu. Pohon Mengkudu jadi sedih sekali.
**
“Wah...
asyiiik..., sebentar lagi buah-buahku akan di panen,” kata Pohon Mangga Gadung.
“Iya.
Bahkan buahku yang masih muda pun juga dipanen, karena sudah manis,” seru Pohon
Mangga Manalagi.
“Buahku
juga manis, lho,” sahut Pohon Mangga Madu tak mau kalah.
Pohon-pohon
mangga itu sedang bergembira. Bunga-bunga mereka sudah berganti menjadi buah
yang siap panen.
“Buahku
juga siap dipanen, lho,” teriak Pohon Mengkudu memberitahu. Ia tersenyum sambil
terus menari-nari karena hembusan angin.
Pohon-pohon
mangga tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan sebagian ada yang sampai
terbatuk-batuk. Pohon Mengkudu masih tersenyum. Dikiranya, pohon mangga-mangga
itu sedang tertawa melihat tariannya.
“Tapi,
yang suka buah kamu itu cuma Kakek Suto,” kata Pohon Mangga Gadung tertawa.
“Anak-anak
kecil di sini tidak suka buah mengkudu. Hihihi...,” Pohon Mangga Manalagi
terkekeh.
Pohon
Mengkudu berhenti menari. Mukanya cemberut.
“Teman-teman...
hentikan gurauan kalian. Lihat, Pohon Mengkudu jadi bersedih!” ucap Pohon Mangga
Madu.
Pohon
Mangga Gadung dan Manalagi langsung menghentikan tawa mereka. Sejak saat itu
Pohon Mengkudu selalu bersedih, ia tak mau tersenyum walaupun sedang menari
bersama angin. Ia baru tersenyum jika Kakek Suto mengambil buah-buahnya.
**
“Kemana ya, Kakek Suto? Harusnya ia
sudah mengambil buah-buahku lagi,” gumam Pohon Mengkudu.
“Hei... Kakek Suto datang. Pasti ia
akan mengambil buah-buahmu,” seru Pohon Mangga Madu.
Kakek
Suto datang bersama cucu-cucunya. Ia membawa galah dan keranjang kecil. Pohon
Mengkudu bergembira.
Tapi,
Kakek Suto berhenti di bawah pohon mangga madu. Dengan galah tersebut, Kakek
Suto mengambil buah-buah mangga yang siap dipetik. Kedua cucu Kakek Suto senang
sekali. Mereka akan membuat jus mangga, katanya.
Pohon Mengkudu memperhatikan cucu
Kakek Suto. Sari dan Doni namanya, begitu Kakek Suto tadi memanggil mereka.
“Alangkah bahagianya aku jika
anak-anak itu juga menyukai buahku,” kata Pohon Mengkudu menunduk sedih.
Pohon Mangga Madu melirik Pohon
Mengkudu. Tadinya ia bergembira karena sedang dipanen Kakek Suto, tapi kini tak
berani menampakkan rasa bahagianya lagi.
“Pohon Mengkudu... , jangan bersedih
dong. Percayalah... pasti suatu hari nanti anak-anak juga akan suka padamu,”
hibur Pohon Mangga Madu.
Pohon Mengkudu diam. Ia tahu Pohon
Mangga Madu hanya menghiburnya saja. Tapi, Pohon Mengkudu jadi deg-degan
setelah Kakek Suto dan kedua cucunya menghampiri dirinya. Mau apa ya? Pikir Pohon Mengkudu.
“Ini pohon kesayangan Kakek.
Buah-buahnya selalu membuat Kakek sehat, tidak terkena tekanan darah tinggi.
Buah-buah ini juga bisa mengobati sakit demam, batuk dan sakit perut, lho,”
ucap Kakek Suto pada Sari dan Doni. Kedua cucu Kakek Suto manggut-manggut.
“Pohon ini juga bisa menghilangkan
sisik kaki kalian. Ayo, Kakek tunjukkan caranya,” ucap Kakek.
Lalu Kakek Suto mengambil buah
mengkudu yang masak. Kemudian menggosok-gosokkan buah itu ke kaki. Sari dan
Doni pun mengikuti apa yang dilakukan Kakek Suto.
“Sedang apa, Kek?” tanya anak-anak
yang suka main lempar-lemparan buah mengkudu.
“Membersihkan kaki yang bersisik.
Setelah digosokkan, biarkan 5-10 menit. Setelah itu bersihkan dengan kain
bersih yang dibasahi air hangat. Ayo, kalian boleh mencobanya,” ucap Kakek
Suto.
Seketika anak-anak itu menirukan apa
yang dilakukan Kakek Suto, Sari dan Doni. Mereka melakukan dengan tertawa
riang. Mereka tak menyangka, buah yang biasanya mereka buang dan injak-injak,
ternyata ada manfaatnya.
Pohon
Mengkudu terharu. Ia pun mulai menari lagi mengikuti gerakan angin dengan
tersenyum gembira. ***
Cerpen Anak : Senyum Kemiri
Kilas balik :
Saat hendak menulis cerita ini yang saya pikirkan adalah ingin membuat cerita dengan judul yang unik dan membuat pembaca bertanya-tanya. Seperti:
- Siapa yang tersenyum?
- Kok kemiri senyum?
- Ada apa dengan kemiri?
Jadi kemiri ini adalah bumbu dapur yang bisa membuat tokohnya bahagia. Oiya, satu lagi bandana mutiara yang saya sebutkan dalam cerita adalah benda yang saat itu baru saya beli untuk anak. Jadi, benda-benda di sekitar kita bisa mempermanis cerita yang kita tulis. Penasaran? Yuk baca ceritanya.
Senyum Kemiri
Oleh Nurul Ikoma K
Aku
sudah bosan dengan rambut pendek sebahu. Aku ingin sekali punya rambut panjang
seperti Tiara. Yang jika digerai akan tampak indah dan bagus sekali. Selain itu
bisa dikepang, atau dikuncir dengan karet warna-warni. Tapi, Mama tak pernah
mengijinkan.
“Amanda... ini Mama bawa bandana
baru. Ada mutiaranya, cantik sekali,” ucap Mama mengulurkan tas plastik kecil
berlogo toko aksesoris langganannya.
“Mama lama sekali pulangnya?”
tanyaku.
Mama tersenyum. Lalu Mama melepas
sepatu dan meletakkannya di rak. Kemudian Mama menghampiriku.
“Sepulang kerja tadi, Mama mampir
dulu ke toko aksesoris. Beli bandana ini, buat kamu sayang. Ini model terbaru
lho,” jelas Mama.
“Bandana Amanda kan sudah banyak,
Ma?” kataku.
“Nggak apa-apa. Biar Amanda bisa
ganti-ganti bandananya. Biar nggak bosan,” kata Mama lalu meninggalkanku ke
kamar.
Kupandangi bandana baru dari Mama.
Lalu kucoba di kepalaku dan bercermin. Tidak ada yang spesial. Bagiku, bandana
ini sama saja dengan bandana-bandana lain yang sudah kupunya.
“Senyum dong, biar cantik,” kata
Mama seusai ganti baju.
“Ma... bolehkan kalau rambutku
panjang seperti Tiara?” tanyaku hati-hati.
Mama langsung menggeleng cepat,
seperti biasa.
“Punya rambut panjang itu repot,
nanti menyisirnya jadi lebih lama,” kata Mama.
Aku pun cemberut.
**
“Rambut
Tiara bagus sekali, Tante. Tebal dan hitam berkilau. Sering dirawat ke salon,
ya?” tanyaku suatu hari ketika main ke rumah Tiara.
Tante Mira yang sedang mengepang
rambut Tiara, menggeleng tersenyum. Sedangkan Tiara cekikikan mendengar
pertanyaanku. Ah, masa sih nggak pernah? Tanyaku dalam hati.
“Aku ingin punya rambut panjang
seperti Tiara, Tante. Tapi, Mama selalu melarangku,” kataku kemudian.
“Kenapa?” tanya Tante Mira.
“Kata Mama, punya rambut panjang itu
repot dan mahal karena harus dirawat di salon. Mamaku pelit ya, Tante,” jawabku
sedih.
“Bukan pelit. Mungkin Mama punya
maksud lain. Biar Amanda lebih mudah menyisir rambut sendiri, misalnya,” jelas Ibu Tiara.
**
“Kok anak Mama sekarang nggak pernah
lagi tersenyum kalau sedang bercermin? Kenapa?” tanya Mama.
Aku hanya geleng-geleng kepala.
Kemudian Mama memanggilku agar duduk di sebelahnya. Tangan Mama membawa cawan
kecil.
“Tadi pagi Mama mendapat resep
ajaib. Lalu Mama tertarik untuk membuatnya,” Mama bercerita.
“Resep ajaib? Dari siapa?” tanyaku
mulai tertarik.
Mama mengangguk. Lalu menyuruhku duduk
membelakangi Mama. Kemudian Mama mengoleskan minyak di kulit kepalaku sambil
memijat-mijat.
“Resep ajaib ini dari Tante Mira. Amanda
ingin punya rambut tebal dan hitam seperti Tiara, ya? ” ujar Mama masih
mengolesi rambutku.
“Iya,” jawabku.
“Kalau begitu tiap hari libur Mama
akan mengolesi rambut Amanda dengan minyak kemiri ini,” kata Mama tersenyum.
“Kemiri? Bumbu dapur yang bentuknya
hampir bulat itu?” tanyaku.
“Iya. Kemirinya ditumbuk dan
disangrai, agar minyaknya keluar,” jelas Mama.
Hatiku riang gembira. Aku berharap
ini tanda bahwa Mama akan membolehkanku mempunyai rambut panjang seperti Tiara.
“Mama sedih loh, Amanda sekarang nggak mau pakai bandana yang
dibelikan Mama,” ucap Mama kemudian.
Aku kaget mendengarnya. Lalu aku
menghadap Mama, sehingga Mama terpaksa menghentikan aktivitasnya. Ada perasaan
bersalah ketika aku melihat Mama bersedih.
“Maaf, Ma. Tapi aku sudah bosan
pakai bandana di rambutku yang pendek ini,” kataku akhirnya.
Mama menghela napas panjang.
“Amanda boleh punya rambut panjang,
tapi tidak sekarang. Tahun depan saja, ya? Saat itu pasti Amanda sudah semakin
besar dan semakin pandai merawat dan menyisir rambut sendiri,” kata Mama.
Aku mengangguk senang. Kupeluk Mama
dan mengucapkan terimakasih padanya. Senyumku pun mengembang. Senyum rasa
kemiri. ***
Cerpen Anak : Bibi Eskrim
Kilas balik :
Cerita ini saya tulis berdasarkan pengalaman masa kecil yang kalau diingat-ingat sangatlah konyol 😄.
Pengalaman saat saya mengusir tamu karena ingin nonton TV. Karena kalau tamu tidak pulang, saya dan adik-adik tidak bisa menonton film kartun kesukaan. Sebab TV ada di ruang tamu.
Tahu nggak cara apa yang saya pakai? Hihi... benar-benar konyol, trik yang pernah diucapkan tetangga dan saya praktikkan. 😅
Bibi Eskrim
Oleh Nurul Ikoma K
Aku
dan Nina senang sekali. Kami baru saja memasukkan dua lembar uang lima ribuan
ke celengan. Tante Cantik memang baik. Selalu memberi uang ketika berkunjung ke
rumah.
“Wah, anak-anak Ibu rupanya lagi
senang, ya?” tanya Ibu.
“Kalau Tante Cantik datang, celengan
kami jadi gendut, Bu,” kataku girang. Nina pun tertawa lebar sambil mengocok
celengannya.
**
Sudah lama rasanya tak bertemu
dengan Tante Cantik. Kata Ibu, Tante Cantik sakit, jadi tak bisa sering-sering
lagi datang ke rumah kami.
“Ayu...
tolong bantu Ibu membersihkan kamar tamu, ya? Nanti sore ada tamu spesial yang
datang,” jawab Ibu.
“Asyiiik... Tante Cantik mau datang
lagi,” seruku pada Nina. Nina ikut-ikutan girang. Ibu hanya tersenyum.
“Yang bersih dan rapi, ya,” pesan
Ibu meninggalkan kami menuju dapur.
Pasti
Ibu mau membuat roti bolu pandan kesukaan Tante Cantik. Setelah kamar tamu
sudah siap dibersihkan, aku dan Nina ke dapur. Ingin membantu Ibu membuat roti
bolu pandan.
“Ayu... tolong petikkan tiga helai
daun jeruk, ya,” kata Ibu.
“Siap Bu. Dengan senang hati,”
seruku.
Dengan semangat aku menuju kebun
kecil kami yang ada di halaman rumah. Ah, rasanya sudah tak sabar menunggu
kedatangan Tante Cantik. Tapi, buat apa daun jeruk ya? Memangnya ada kue bolu
rasa daun jeruk?
“Daun jeruknya untuk apa sih, Bu?”
tanyaku sambil mengulurkan daun-daunan yang biasanya untuk memasak itu.
“Untuk masak rawon, buat menyambut
tamu kita,” jawab Ibu.
Wah... ternyata Ibu mau membuat
masakan berkuah hitam kesukaanku dan Nina.
“Rawon?
Tante Cantik kan tak suka rawon?” tanya Nina.
Nina
benar. Oh... tidak, jangan-jangan bukan Tante Cantik yang akan datang. Tapi...
**
Tamu kami sudah datang dari kemarin.
Orangnya cerewet sekali. Kami nggak boleh nonton TV lama-lama, apalagi main
game. Tidur nggak boleh malam-malam, dan saat pagi tak boleh malas-malasan
meski tidak sekolah.
Saat
sang tamu berbincang dengan Ibu di ruang depan, aku dan Nina segera berlari ke
dapur. Aku mengambil cobek dan ulekan.
“Untuk
apa, Kak?” tanya Nina.
“Aku
pernah dengar dari temanku, katanya cara ini ampuh untuk mengusir tamu. Percaya
nggak percaya sih. Tapi ah biarlah, siapa tahu manjur,” jawabku.
Dengan
semangat aku mengulek cobek kosong. Kemudian aku meminta Nina untuk mengintip
ke ruang tamu. Nina menggelengkan kepala. Itu artinya tak ada tanda-tanda bahwa
Bibi Cerewet akan pamit pulang. Aku pun ikut mengintip. Dan benar saja,
ternyata Ibu dan Bibi Cerewet masih saja asyik berbincang-bincang.
Lalu
aku kembali mengulek cobek kosong lagi. Semakin ingat omelan Bibi Cerewet,
semakin semangat pula aku mengulek.
“Sedang apa, Ayu? Berisik sekali
suaranya.”
“Lagi ngulek cobek kosong, Bu. Biar
Bibi Cerewet segera pulang,” kataku.
“Sst..
sst...,” Nina menarik-narik rokku, sepertinya ingin menyuruhku diam. Tapi aku
tak peduli.
“Ayu
nggak mau diomelin Bibi Cerewet lagi, Bu. Enakan Tante Cantik yang datang,”
kataku nyerocos masih ngulek cobek kosong.
Terdengar tawa berderai di
belakangku. Aku menoleh cepat. Ternyata ada Bibi Cerewet bersama Ibu. Duh,
malunya aku.
“Itu tidak benar, Yu. Kata siapa
ngulek cobek bisa ngusir Bibi?” Ibu tertawa. Bibi tersenyum mendekati kami.
“Bibi itu sayang kalian. Kenapa sih Bibi
meminta kalian agar tidak malas bergerak? Sebab bisa bahaya lho, tulang kalian
bisa keropos seperti Tante Cantik,” kata Bibi Cerewet.
“Tulang Tante Cantik keropos?”
tanyaku.
“Iya, namanya osteoporosis,” jawab
Bibi Cerewet.
**
Hari ini Bibi mengajakku dan Nina
jalan-jalan pagi. Kata Bibi, jalan kaki membuat sehat.
“Ayo
ayunkan tangan kalian,” seru Bibi Cerewet.
Kami
menirukan gaya Bibi, agar tak dicereweti lagi. Kami terus berjalan sampai
akhirnya berhenti di lapangan. Ada banyak orang dan anak-anak di sana.
Lalu
Bibi mengajak kami senam seperti yang lainnya. Awalnya aku enggan, tapi
ternyata asyik juga menggerak-gerakan kepala dan badan. Seperti menoleh ke
kanan dan ke kiri, mengayunkan tangan, dan melompat.
“Senam
membuat badan kita sehat,” kata Bibi semangat.
Aku
dan Nina ikut semangat. Sampai tak terasa lagu yang mengiringi senam habis.
Badanku berkeringat dan lelah sekali.
Tak
lama kemudian Bibi datang. Bibi membawa eskrim dan menyodorkannya kepadaku.
“Ayo dimakan eskrimnya, nanti keburu
meleleh. Biar Bibi kalian yang cerewet ini senang,” kata Bibi tersenyum.
Mukaku
memerah, malu sekali. Sejak saat itu aku dan Nina tak lagi memanggil Bibi kami
dengan sebutan Bibi Cerewet. Kami memanggilnya dengan sebutan Bibi Eskrim. Karena
tiap liburan, Bibi datang mengajak kami jalan dan senam lalu membeli eskrim. ***
Dongeng Bobo : Petualangan Momo
Kilas balik :
Saat menulis cerita ini marak odong-odong keliling. Saat itu anak saya masih batita dan lagi senang-senangnya main mobil-mobilan yang bisa dikendarai menggunakan kaki. Dari sinilah ide awal itu datang.
Untuk setting ceritanya saya memilih tempat tinggal saya saat itu, yakni Sidoarjo. Dimana ada tempat wisata tas yang di sana juga ada banyak odong-odong.
Lalu bagaimana saya menggabungkan benda kesayangan anak saya dan maraknya odong-odong menjadi cerita yang manis? Baca ceritanya, yuk.
Petualangan Momo
Oleh Nurul Ikoma
Gelap
dan sunyi. Sudah lama Momo ingin menikmati udara segar dan bermain bersama
Randi. Tapi, hari itu tak kunjung tiba. Momo masih terus mendekam di tempat
yang penuh debu, yang bernama gudang.
Tapi
suatu ketika, mata Momo membelalak tatkala pintu gudang terbuka. Ada seseorang
yang mengangkatnya dan membawanya keluar. Momo kenal sosok itu. Dia adalah ayah
Randi. Momo senang bukan main. Pasti Randi sebentar lagi akan naik di badannya,
kemudian membawanya berputar-putar keliling komplek seperti dulu.
“Selamat
bersenang-senang,” ucap semua penghuni gudang.
Momo
tersenyum senang. Tapi, alangkah terkejutnya Momo ketika ia diberikan kepada
seorang Pak Tua. Sontak senyum Momo hilang. Ia kecewa karena dirinya harus
berpindah tangan. Ada apa ini? Apa Randi dan keluarganya tak lagi sayang
padanya?
**
“Hai...
namaku Riyu-Riyu,” sapa mobil warna merah jambu ramah.
“Namaku
Momo,” jawab Momo sedih.
Momo
memandangi dirinya yang kini berada di atas kereta dengan tiga mobil mainan lainnya.
Hanya Riyu-Riyu yang tampak ramah, sedang yang lainnya cuek.
“Harusnya
aku yang berada di depan, bukan dia,” bisik Mobil Biru.
“Iya.
Seharusnya kita yang ada di depan, bukan Riyu-Riyu dan mobil baru itu,” kata
Mobil Hitam.
Pak
Tua datang. Lalu Pak Tua mendorong kereta odong-odongnya menuju jalanan. Riyu-Riyu
dan mobil lainnya bergembira. Sedangkan Momo hanya diam karena tak mengerti.
“Kita
akan ke lokasi wisata. Nanti kita akan bertemu anak-anak di sana. Pasti kamu
akan suka,” seru Riyu-Riyu.
“Benarkah?”
ucap Momo tak percaya.
Momo,
Riyu-Riyu dan lainnya terus melaju bersama Pak Tua. Mereka melewati rumah-rumah
warga yang hampir semuanya memajang kerajinan kulit. Kemudian mereka melintasi
jalan raya Kludan Tanggulangin dan masuk area Perumahan Permata Sidoarjo
Regency. Mereka berhenti di kawasan Permata Water Park. Ternyata ada banyak
macam permainan anak-anak balita di sana. Ada kereta kelici, ada komidi putar
mini, ada kolam bola, ada kolam pemancingan berisi ikan mainan, dan lain-lain.
Di
tempat itu ada warung-warung makanan berjejer rapi. Penjual mainan dan
aksesoris pun ada. Tempat yang benar-benar menyenangkan, batin Momo. Tapi, di
dalam hatinya ia masih merindukan Randi.
“Randi?”
ucap Momo. Ia melihat rombongan orang dewasa yang menggendong anak-anak kecil
yang baru turun dari bus mini.
Momo
terus mencari sosok Randi, tapi tak ada.
“Mereka
itu mau berenang di Permata Water Park,” kata Riyu-Riyu memberitahu.
Momo
mengangguk, kemudian ia mengedarkan pendangannya ke arah lain.
“Lihat!
Ada banyak bus besar di sana,” seru Momo.
“Iya.
Para penumpang bus-bus itu dari luar kota, bahkan kadang dari luar Jawa.
Biasanya, mereka akan memborong aneka kerajinan kulit. Seperti tas, sepatu,
koper, jaket, dan lain-lain. Buatan para pengrajin Sidoarjo bagus-bagus, lho.
Murah lagi,” kata Riyu-Riyu.
Momo
manggut-manggut.
“Tempat
wisata kerajinan kulit Tanggulangin Sidoarjo ini sangat terkenal. Salah satunya
toko besar itu,” seru Riyu-Riyu menunjuk sebuah bangunan megah yang tak jauh
dari mereka.
“Oh
iya, aku pernah dengar. Bunda Randi sering membeli tas di sana,” ucap Momo.
**
Waktu
terus berlalu, namun belum ada pengunjung yang menggunakan jasa odong-odong Pak
Tua.
“Kasihan
Pak Tua,” ucap Riyu-Riyu.
“Semuanya
gara-gara dia,” tunjuk Mobil Hitam ke Momo.
“Coba
kalau aku yang berada di depan, pasti akan banyak pengunjung yang tertarik,”
timpal Mobil Biru.
Merasa
disalahkan seperti itu, Momo jadi sedih sekali. Tapi... Hey... tiba-tiba
badannya terasa berat. Seorang anak kecil sudah diatasnya. Kini badan Momo dan
lainnya bergerak maju mundur diiringi lagu anak-anak. Rupanya Pak Tua sedang
menggowes kereta odong-odongnya. Lama-kelamaan kereta odong-odong Pak Tua
terisi penuh.
“Oh... tidaaak...,” Momo menjerit.
Riyu-Riyu
kaget. Sedangkan Mobil Hitam dan Mobil Biru tertawa terpingkal-pingkal melihat
Momo. Badan Momo basah. Anak kecil itu pipis di badan Momo.
“Tak
apa, Momo. Nanti akan dilap Pak Tua,” hibur Riyu-Riyu.
Momo
mendengus kesal. Ia jadi ingin pulang ke rumah Randi. Tapi mana mungkin? Ia pun
menunduk sedih. Tiba-tiba terdengar suara klakson motor. Suara motor itu tak
asing bagi Momo. Itu suara motor milik ayah Randi. Momo segera mendongakkan
kepalanya.
Benar.
Ada ayah Randi bersama anak laki-laki. Mereka menemui Pak Tua. Lalu Pak Tua
mengajak mereka melihat Momo. Anak laki-laki itu mengelus-elus Momo sambil
tersenyum. Momo kenal senyum itu. Senyum itu milik Randi.
“Wah...
rupanya Randi sudah besar,” gumam Momo.
“Siapa
dia?” tanya Riyu-Riyu.
“Dia
dulu kawan bermainku ketika ia masih kecil. Ternyata, karena inilah dia tak
memakaiku lagi,” kata Momo.
Kini,
Momo tak menyesal lagi kenapa harus bersama Pak Tua. Ia lalu berjanji akan
selalu tersenyum menyambut anak-anak yang naik kereta odong-odong Pak Tua. ***
*Lokasi
cerita benar-benar ada. Dari Permata water Park sampai lokasi wisata kerajinan
kulitnya.
Dongeng Bobo : Tak Tik Jitu Kurcaci Tiki
Kilas balik :
Ini adalah dongeng pertama saya yang dimuat di Bobo setelah beberapa cerita tidak berhasil tembus. Karena sangat penasaran untuk bisa dimuat di media tersebut, trik yang saya pakai adalah membuat judul yang unik dan menarik. Jadi, saya membuat judul terlebih dahulu baru memikirkan ceritanya 😄. Alhamdulillah berhasil.
Penasaran ceritanya? Yuk baca cerita para kurcaci di bawah ini.
Tak Tik Jitu Kurcaci Tiki
Oleh Nurul Ikoma
“Huh... selalu seperti ini,” dengus kurcaci Tiki memeriksa tiap halaman buku yang ia pegang. Ada banyak coretan hampir ditiap halamannya. Dengan muka kesal lalu Tiki menyemprotkan ramuan ajaib ke coretan-coretan itu. Sebentar kemudian coretan-coretan itu menghilang, dan buku menjadi bersih kembali.
“Jangan mengeluh. Sudah menjadi tugas kita sebagai kurcaci Penjaga Perpustakaan untuk merawat buku-buku ini,” ucap Perp, kurcaci berkaca mata merapikan buku-buku di rak.
Mendengar kata-kata Perp, kurcaci
Tiki hanya bisa diam dengan muka masam. Dalam hati ia bertanya, kenapa
manusia-manusia itu tak bisa merawat buku dengan baik? Selalu saja buku-buku
yang mereka pinjam, kembali tidak dalam keadaan seperti semula. Kadang ada
coretan, lipatan-lipatan, lecek, bahkan ada yang sobek.
Lalu Tiki meletakkan buku yang sudah
ia bersihkan ke rak hijau. “Hei... buku dongeng letaknya di rak merah,” ucap
Perp mengingatkan. Tiki tertawa kecil. Ia memang kurcaci yang pelupa. Tiki pun
segera meletakkan bukunya tadi ke rak merah. Kemudian ia kembali ke tempat
duduknya. Tapi ia mendadak kebingungan. Kedua alisnya bertaut. Ia menoleh
kesana-kemari, mencari sesuatu. “Ada yang melihat botol ramuan ajaibku?”
tanyanya.
“Ada di sakumu,” jawab
kurcaci-kurcaci penjaga perputakaan serempak. Ya... Tiki selalu saja lupa.
“Ya ampuuun... lihatlah teman-teman.
Buku ini jorok sekali. Ada banyak minyak di sana-sini,” teriak Noe kurcaci yang
paling gendut.
Tiki dan Perp menoleh kearah Noe
bersamaan. Lalu mereka menghampiri Noe dan melihat buku yang ia pegang.
“Bekas minyak dibuku ini sudah kucoba
hilangkan dengan ramuan ajaib, tapi tidak bisa,” ucap Noe.
“Ini sudah tak bisa dibiarkan. Kita
harus melakukan sesuatu. Karena kalau tidak, buku-buku ini bisa rusak
semuanya,” seru kurcaci Tiki.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya
Perp sambil membetulkan kacamatanya. Tiki tak menjawab. Ia sedang memikirkan
sesuatu. Sedangkan kurcaci-kurcaci lainnya menatap Tiki dengan wajah keheranan.
Keesokan paginya Tiki mengambil
semua botol-botol ramuan ajaib dan memasukkannya ke dalam kantong. Kemudian ia
mengendap-endap menuju pintu perpustakaan. Ia pergi tanpa sepengetahuan
teman-temannya.
Hari menjelang siang. Seperti biasa
perpustakaan selalu ramai dikunjungi para siswa saat istirahat. Kurcaci-kurcaci
penjaga perpustakaan mengamati para siswa dari balik buku-buku.
“Hei... jangan menumpuk buku dalam jumlah banyak. Nanti buku-buku itu bisa rusak, lembarannya bisa saling menempel, dan jilidnya bisa gampang lepas,” teriak Tiki marah pada seorang siswa diantara buku-buku pelajaran.
“Hei... kamu, jangan membaca buku sambil makan snack. Minyaknya bisa menempel di buku,” teriaknya lagi pada siswa berbadan gemuk. Tapi percuma, siswa itu tak mendengar suaranya.
Jam sekolah berakhir. Kini tugas
para kurcaci dimulai kembali seperti biasanya. Mereka harus merapikan buku-buku
yang baru dipinjam para siswa. Dari merapikan buku yang ada lipatannya,
membersihkan buku yang ada coretan-coretannya dan lain-lain.
“Ramuan ajaib kita hilang,” teriak
Noe heboh. Kurcaci-kurcaci lainnya pun kaget.
“Bagaimana ini? Kita takkan bisa
melakukan tugas dengan baik tanpa ramuan ajaib itu,” kata Perp. Tiki pura-pura
tidak tahu.
Seminggu berlalu dan botol-botol ramuan ajaib itu belum ditemukan.
Hari ini Pak Dendi petugas perpustakaan banyak mendapat keluhan dari siswa. Mereka mengeluhkan buku-buku yang rusak dan tidak rapi seperti biasanya.
“Bukunya kenapa lecek begini, Pak? Banyak lipatan lagi,” tanya anak perempuan berkacamata.
“Pak...
Kok bukunya jorok begini?” tanya anak laki-laki bertubuh gemuk. Dan banyak
keluhan-keluhan lainnya.
Pak
Dendi pun melihat buku daftar peminjaman buku. Dengan begitu Pak Dendi bisa
tahu siapa-siapa yang terakhir meminjam buku dan mengembalikannya dalam
keaadaan rusak. Maka siswa itulah yang harus bertanggung-jawab.
Setelah kejadian itu akhirnya banyak siswa menyadari akan pentingnya memperlakukan buku dengan baik. Sebab buku adalah sumber ilmu, harus dijaga dan dirawat.
Kini mereka tak lagi melipat lembaran buku yang mereka baca, tapi mereka menggunakan pembatas buku. Mereka tak mencoret-coret buku lagi. Mereka tak mengotori atau merusak buku lagi. Pak Dendi senang, demikian juga dengan Tiki dan kurcaci-kurcaci lainnya.
“Taktikku berhasil. Tak sia-sia aku menyembunyikan botol-botol ramuan ajaib itu. Ya biar manusia-manusia itu tahu akan kesalahannya,” ucap Tiki senang.
“Apa?” tanya Perp.
“Oh... tidak apa-apa,” sahut Tiki cepat. Kemudian ia memikirkan sesuatu.
“Meski manusia-manusia itu sudah menyayangi buku, kita harus tetap ikut merawat buku-buku di perpustakaan ini,” ujar Perp.
“Lalu apa kita masih memerlukan botol-botol ramuan ajaib yang telah hilang itu?” tanya Noe.
“Hmmm... bagaimana menurutmu, Tiki?” tanya Perp.
Mendengar pertanyaan Perp, kurcaci Tiki gelagapan. Ia bingung harus menjawab apa. Sebab ia lupa dimana menyimpan botol-botol ramuan ajaib itu. Dan hingga saat inipun belum ditemukan. Apakah kalian tahu dimana botol-botol itu berada?
Dongeng Bobo : Kerbau dan Burung Jalak
"Kraaak... kraaak...." Terdengar suara Burung Jalak di atas pohon dekat sawah.
"Hei, Jalak, pelankan suaramu!' teriak Kerbau sambil sesekali menggaruk badan.
"Kenapa harus pelan? Aku ini sedang menyanyi menghiburmu," ujar Burung Jalak.
"Apa? Kamu menyanyi?"
"Iya. Aku menyanyi lagu indah untukmu agar tidak bosan bekerja. Kemarin aku belajar menyanyi pada Burung Gagak."
Mendengar cerita Jalak, Kerbau tertawa terpingkal-pingkal.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya Jalak heran.
"Hahaha... Jadi, sejak tadi kamu menyanyi?" tanya Kerbau.
"Iya," jawab Jalak bangga.
"Suaramu sama sekali tidak merdu. Lebih baik kamu bergurunpada Burung Kutilang, supaya suaramu merdu," usul Kerbau.
Jalak kesal mendengar ucapan Kerbau.
"Kerbau, memangnya kamu tidak senang mendengarkan nyanyianku?"
Kerbau menggeleng cepat sambil menggaruk badan, lalu tertawa lagi.
"Tapi, tadi kamu menari ketika aku menyanyi!" kata Jalak heran.
"Aku tidak menari. Sejak tadi, aku menggaruk badanku yang gatal!"
Mendengar ucapan Kerbau, giliran Jalak yang tertawa.
"Kamu tidak pernah mandi, sih! Pantas saja badanmu bau dan gatal!" celetuk Jalak.
Kini giliran Kerbau yang jengkel. Mereka bertengkar dan saling meledek. Jalak jadi kesal dan mematuk punggung Kerbau. Kerbau hendak marah, tetapi tidak jadi.
Aneh. Ketika punggungnya dipatuk Jalak, Kerbau malah merasa seperti digaruk.
"Wah, enaknya! ternyata banyak makanan di sini," gumam Jalak. Ia juga tampak gembira setelah mematuk punggung Kerbau.
"Apa kamu bilang?" tanya Kerbau.
"Aku sedang memakan kutu di punggungmu. Nyam...nyam...," jawab Burung Jalak.
"Pantas saja rasa gatalku sedikit berkurang. Makanlah kutu-kutu itu sampai habis!" Kerbau tertawa senang.
Akhirnya karena merasa saling diuntungkan, mereka saling bersahabat. Kerbau kini bisa bekerja tanpa menggaruk-garuk badan. Jalak pun bisa kenyang karena mendapat makanan dari punggung Kerbau. **
Dongeng ini dimuat di Bobo terbit 7 April 2016