“Hei…, dari mana? Ayo bantu!” teriak Bagus yang sedang mendekorasi panggung. “Dari mengantar adik yang mau ikut upacara di sekolah jam sepuluh nanti,” jawabku senyum. Maklum sebagai tetangga baru aku harus banyak senyum.
“Bentar ya teman-teman… aku mau bantu mbah Ainun. Kok dari tadi kuperhatikan mbah Ainun kesulitan pasang bendera di tiang depan rumahnya itu,” kata Bagus.
Ku lihat Bagus membantu mbah Ainun. Nampak dari jauh mbah Ainun tertawa malu karena ia tidak bisa memasang bendera di tiangnya dari tadi. Tak lama Bagus kembali ke lokasi pentas.
“Pokoknya nanti malam acaranya harus meriah. Apalagi kemarin kita habis memenangkan lomba karnaval tahunan. Jadi rugi kalau tidak sukses acara malam ini,” kata Bagus sang ketua panitia.
“Ayo semuanya, sudah hampir jam sepuluh ini,” teriak Bagus lagi. Tapi aku dan lainnya sedang menatap seseorang dengan bajunya yang baru ganti.
“Itu mbah Ainun kan?” tanyaku.
“Betul. Tiap tanggal 17 Agustus mbah Ainun memang mengenakan kembali seragamnya semasa ia berjuang dulu. Jam sepuluh tepat ia akan berdiri untuk hormat pada merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tapi sayangnya ia tak pernah mendapat santunan dari pemerintah, seakan dilupakan. Lihat saja rumahnya, sangat tidak layak bagi pejuang. Namun mbah Ainun masih semangat. Karena pikun, ia selalu berpesan pada cucunya agar mengingatkannya jika hari kemerdekaan tiba,” jelas Bagus.
Mendengar penjelasan Bagus, serasa mataku ingin menangis. Karena melihat mbah Ainun berdiri dengan bantuan alat penyangga akibat kaki kirinya yang diamputasi demi membela bangsa. Ia berdiri di bawah bendera merah putih seakan masih berkobar semangat juangnya.
Sidoarjo, 26 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar