By : Ari Santi (adikku)
Ramadhan kali ini gerejaku menggelar "Buka Puasa Bersama" untuk umat muslim.
Upaya Pengkristenasian. Target minimal sepuluh orang yg harus aku murtadkan hampir rampung, tinggal 2 orang lagi.
Hemmh... Masih aku ingat peristiwa kemarin.Kamu menginap di sebelah kamar hotelku. Aku ketuk kamarmu, aku sodorkan kitab kebanggaanku... Injil. Kamu menerimanya dengan senyum. Besoknya kutemui dirimu, dan berharap kamu sudah membaca kitabku.Ternyata "belum" adalah jawabmu.Dua hari berikutnya, jawabanmu sama.
Aku kecewa...
Malam ini aku langsung menjumpaimu. Aku ingin tahu, sebab apa kamu tidak mau membaca kitabku…? Anehhh... Kamu malah mengajakku membaca Injil itu bersama-sama di kamarmu. Hatiku bersorak.
Cahaya lampu menerangi kamarmu yang bersih. Kulihat kamu menyalakan lilin. "Untuk apa lilin itu?" tanyaku heran. "Untuk membaca," jawabmu singkat. "Bukankah sudah ada lampu listrik yg terang, tidak perlu lilin lagi." Hardikku. "Tuan.... begitulah agama tuan. Bagaimana saya butuhkan, sedangkan sudah ada pada saya agama yg sangat terang dan menyempurnakan agama tuan." Uuuhh... dadaku sesak... Hidayah Allah datang, malam itu syahadat meluncur dari bibirku.
Hari ini, aku bakar semua atribut dan piagam gerejaku. Aku yakin pilihanku benar. Sepuluh hari lagi lebaran. Aku harus segera mengembalikan aqidah semua orang yang dulu aku murtadkan. Bantu hamba Ya ALLAH...
Kamis, 07 Oktober 2010
Mbah Ainun Sang Pahlawan (FF)
“Hei…, dari mana? Ayo bantu!” teriak Bagus yang sedang mendekorasi panggung. “Dari mengantar adik yang mau ikut upacara di sekolah jam sepuluh nanti,” jawabku senyum. Maklum sebagai tetangga baru aku harus banyak senyum.
“Bentar ya teman-teman… aku mau bantu mbah Ainun. Kok dari tadi kuperhatikan mbah Ainun kesulitan pasang bendera di tiang depan rumahnya itu,” kata Bagus.
Ku lihat Bagus membantu mbah Ainun. Nampak dari jauh mbah Ainun tertawa malu karena ia tidak bisa memasang bendera di tiangnya dari tadi. Tak lama Bagus kembali ke lokasi pentas.
“Pokoknya nanti malam acaranya harus meriah. Apalagi kemarin kita habis memenangkan lomba karnaval tahunan. Jadi rugi kalau tidak sukses acara malam ini,” kata Bagus sang ketua panitia.
“Ayo semuanya, sudah hampir jam sepuluh ini,” teriak Bagus lagi. Tapi aku dan lainnya sedang menatap seseorang dengan bajunya yang baru ganti.
“Itu mbah Ainun kan?” tanyaku.
“Betul. Tiap tanggal 17 Agustus mbah Ainun memang mengenakan kembali seragamnya semasa ia berjuang dulu. Jam sepuluh tepat ia akan berdiri untuk hormat pada merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tapi sayangnya ia tak pernah mendapat santunan dari pemerintah, seakan dilupakan. Lihat saja rumahnya, sangat tidak layak bagi pejuang. Namun mbah Ainun masih semangat. Karena pikun, ia selalu berpesan pada cucunya agar mengingatkannya jika hari kemerdekaan tiba,” jelas Bagus.
Mendengar penjelasan Bagus, serasa mataku ingin menangis. Karena melihat mbah Ainun berdiri dengan bantuan alat penyangga akibat kaki kirinya yang diamputasi demi membela bangsa. Ia berdiri di bawah bendera merah putih seakan masih berkobar semangat juangnya.
Sidoarjo, 26 Agustus 2010
“Bentar ya teman-teman… aku mau bantu mbah Ainun. Kok dari tadi kuperhatikan mbah Ainun kesulitan pasang bendera di tiang depan rumahnya itu,” kata Bagus.
Ku lihat Bagus membantu mbah Ainun. Nampak dari jauh mbah Ainun tertawa malu karena ia tidak bisa memasang bendera di tiangnya dari tadi. Tak lama Bagus kembali ke lokasi pentas.
“Pokoknya nanti malam acaranya harus meriah. Apalagi kemarin kita habis memenangkan lomba karnaval tahunan. Jadi rugi kalau tidak sukses acara malam ini,” kata Bagus sang ketua panitia.
“Ayo semuanya, sudah hampir jam sepuluh ini,” teriak Bagus lagi. Tapi aku dan lainnya sedang menatap seseorang dengan bajunya yang baru ganti.
“Itu mbah Ainun kan?” tanyaku.
“Betul. Tiap tanggal 17 Agustus mbah Ainun memang mengenakan kembali seragamnya semasa ia berjuang dulu. Jam sepuluh tepat ia akan berdiri untuk hormat pada merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tapi sayangnya ia tak pernah mendapat santunan dari pemerintah, seakan dilupakan. Lihat saja rumahnya, sangat tidak layak bagi pejuang. Namun mbah Ainun masih semangat. Karena pikun, ia selalu berpesan pada cucunya agar mengingatkannya jika hari kemerdekaan tiba,” jelas Bagus.
Mendengar penjelasan Bagus, serasa mataku ingin menangis. Karena melihat mbah Ainun berdiri dengan bantuan alat penyangga akibat kaki kirinya yang diamputasi demi membela bangsa. Ia berdiri di bawah bendera merah putih seakan masih berkobar semangat juangnya.
Sidoarjo, 26 Agustus 2010
Tangisan Ji (FF)
Ku lihat lagi naskahku, alhamdulillah selesai. Lalu kulihat jam di tanganku, huft… udah siang, sebentar lagi Kantor Pos akan segera tutup. Aku harus lekas ke sana, kalau tidak percuma saja kerja kerasku semalam. Sampai-sampai habis tarawih langsung kembali begadang di depan laptopku.
Kuperkirakan naskah cerpen ini akan tiba ke tangan media kurang lebih 3 hari kedepan. Tepat sebelum Idul Fitri kurang seminggu. Dan kalau tidak cepat-cepat kukirim hari ini, tentulah peluangku untuk memenangkan lomba fiksi tahunan akan berakhir karena hampir lupa lima hari kedepan sudah deadline.
Malam ini setelah tarawih kembali ku duduk depan laptopku. Semoga naskahku selesai tepat waktu dan segera meluncur ke penerbit langgananku. Nggak apa-apalah kalau malam ini harus begadang lagi.
Jam dinding sudah menunjukkan pk 03:15 WIB, waktunya sahur. Dan di meja makan ibuku sudah menunggu. Beliau tersenyum padaku. Oh ibu, betapa tegarnya dirimu walaupun tanpa pendamping lagi. Engkau masih setia pada ayah dan berjuang keras mengelola toko kelontong kita demi membiayai kuliahku. Engkau selalu berpesan, “banyak-banyaklah berdoa untuk ayahmu nak, karena doa anak yang sholeh Insya Allah akan membuat ayahmu tenang di alam kubur.”
“Alhamdulillah Ramadhan ini ibu hampir khatam Al-Qur’an, kurang 6 juz lagi. Bagaimana denganmu Ji? Pasti sebentar lagi sudah khatam, iya kan?” Pertanyaan ibu mengagetkanku.
Aku diam, dan tanpa berkata-kata aku menangis di pundak ibu. Maafkan aku bu, karena lebih sibuk mengejar deadline demi membantu biaya kuliahku. Ji baru seperempat membaca Al-Qur’an bu, padahal Ramadhan akan segera berakhir. Lalu Tangisku makin pecah di pelukan ibu.
Sidoarjo, 26 Agustus 2010
Kuperkirakan naskah cerpen ini akan tiba ke tangan media kurang lebih 3 hari kedepan. Tepat sebelum Idul Fitri kurang seminggu. Dan kalau tidak cepat-cepat kukirim hari ini, tentulah peluangku untuk memenangkan lomba fiksi tahunan akan berakhir karena hampir lupa lima hari kedepan sudah deadline.
Malam ini setelah tarawih kembali ku duduk depan laptopku. Semoga naskahku selesai tepat waktu dan segera meluncur ke penerbit langgananku. Nggak apa-apalah kalau malam ini harus begadang lagi.
Jam dinding sudah menunjukkan pk 03:15 WIB, waktunya sahur. Dan di meja makan ibuku sudah menunggu. Beliau tersenyum padaku. Oh ibu, betapa tegarnya dirimu walaupun tanpa pendamping lagi. Engkau masih setia pada ayah dan berjuang keras mengelola toko kelontong kita demi membiayai kuliahku. Engkau selalu berpesan, “banyak-banyaklah berdoa untuk ayahmu nak, karena doa anak yang sholeh Insya Allah akan membuat ayahmu tenang di alam kubur.”
“Alhamdulillah Ramadhan ini ibu hampir khatam Al-Qur’an, kurang 6 juz lagi. Bagaimana denganmu Ji? Pasti sebentar lagi sudah khatam, iya kan?” Pertanyaan ibu mengagetkanku.
Aku diam, dan tanpa berkata-kata aku menangis di pundak ibu. Maafkan aku bu, karena lebih sibuk mengejar deadline demi membantu biaya kuliahku. Ji baru seperempat membaca Al-Qur’an bu, padahal Ramadhan akan segera berakhir. Lalu Tangisku makin pecah di pelukan ibu.
Sidoarjo, 26 Agustus 2010
Pengantin Pagi (Lomba FF Pengantin Semesta)
Di hamparan hijau yang luas, beribu-ribu calon pengantin sedang menunggu agen biro jodohnya yang tak kunjung tiba. Para calon pengantin tahu bahwa semalam agen langganan nenek moyang mereka tengah marah di tempat lain akibat moral manusia yang mulai rusak.
Pagi ini para calon pengantin semangat menebar wangi embun mereka, berharap sang agen datang menemui dengan ramah. Namun sang agen belum juga menampakkan diri, sedangkan embun mereka mulai mengering. Mereka gundah ketika melihat matahari terus bergerak akan meninggalkan pagi. Hingga akhirnya mereka bertanya pada agen air dan agen serangga.
“Bersabarlah. Pasti datang sebelum matahari tepat di atas kita,” kata kedua agen.
Tak berapa lama, kedatangan sang agen mulai dirasakan para calon pengantin. Mereka bergembira dan menyambut dengan sukacita. Karena sang agen datang dengan ramah.
Lalu sang agen mulai menyapukan hembusannya di hamparan hijau yang tak lama lagi menghasilkan bulir-bulir padi. Dengan berdzikir, sang agen bertiup membawa serbuk sari terbang ke segala penjuru hingga akhirnya bisa sampai pada kepala putik. Maka pengantin-pengantin padi itu berbahagia, karena mereka akan memberi manfaat bagi anak cucu Adam.
Matahari terus bergerak tanpa beban meninggalkan pagi. Sang agen tersenyum setelah selesai tugasnya. Bahagia karena tak sia-sialah ia diciptakan sebagaimana tercantum dalam kitab Muhammad SAW.
“Dan Kami tiupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, dan kami beri minum kamu dengan air itu.” (Surat Al-Hijr:22)
***
NB :
Padi adalah tanaman istimewa. Pukul 9-11 pagi, padi akan melakukan penyerbukan sendiri. Kulit padi akan membuka secara otomatis, kemudian kotak benangsari-nya pecah menyerbuki putik dibantu angin.
Ilmu Padi : “ Makin berisi makin menunduk”
FF dengan 222 kata. Dalam rangka memperingati milad salah satu admin abatasa, yakni Adi Toha Jalaindra yang ke 2.
Ikutan yuk dengan berimajinasi ria tentang pengantin semesta
Info ada di : http://www.facebook.com/note.php?note_id=129427107106325
atau klik disini
Langganan:
Postingan (Atom)