Anak perempuanku yang bernama Rafa Aditya Salsabila (Wawa) selalu bikin ketawa dengan celoteh-celotehnya yang lucu. Ia memanggilku Mia. Disaat bermain dengan teman-temannya, ia yang paling aktif berbicara dengan gayanya yang ceriwis. Ethes, kata orang Jawa bilang. Dan lucunya teman-temannya itu hanya eh oh eh oh mendengar ucapan anakku. Karena meskipun usia mereka sama, tapi teman-teman Wa ini kalau bicara tidak selancar anakku. Tetangga pun bilang,” Wih… meski masih cadel, lancar sekali ya Wawa kalau bicara. Umurnya berapa sih? Tiga tahun juga kan?”
Banyak tetangga yang menanyakan umur Wawa ketika mendengar ia berceloteh, maklum karena kami orang baru. Dan selalu saja tetangga-tetangga baru kami ini bilang, “ Wih… ethes ya Wawa ini.”
Di lingkungan yang baru ini banyak sekali anak kecil yang usianya dibawah 1 tahun, dan ini membuat anakku gemes sama adik-adik kecil itu. Wa selalu pintar mengajak bercanda adik-adik kecil itu, mengajak main ciluk ba dan lain-lain.
Suatu hari sepulang bermain Wa berkata, “Mia aku mau adik, kayak adiknya tante itu loh.”
Aku tersenyum sambil mencari jawaban yang tepat, “ Iya… nanti ya.”
“Sekarang,” katanya mulai merajuk dan bikin aku bingung.
“Nanti kalau ayah pulang, bilang ke ayah ya kalau Wawa pingin punya adik,” kataku ngeles dan syukurlah ia mengerti.
Sorenya ketika suamiku pulang langsung diberondong dengan permintaan Wawa.
“Ayah… aku pingin punya adik,” kata Wa menggelayut manja.
“Adik? Nah itu adiknya di kardus,” kata suamiku menunjuk sebuah boneka di kardus mainannya.
“Bukan adik itu, tapi adik yang bisa gerak dan bisa nangis,” katanya mulai merajuk.
Aku pun mulai menjelaskan maksud dan keinginan Wa pada suami. Ayah Wa tersenyum dan berkata, “ Kapan-kapan ya…kalau ayah libur kita beli di mall.”
Aku tertawa mendengar perkataan suamiku dan lagi-lagi aku bersyukur karena Wa tak merajuk lagi. Namun ketika suatu hari kami ke mall, ternyata ia menagih janji pada ayahnya untuk dibeliin adik. Kami kebingungan dan akhirnya memberi jawaban bahwa ternyata di mall tak ada yang jual adik.
Esoknya tiap ada tetangga yang sedang menggendong adik kecil lewat depan rumah, Wa selalu bertanya,” Tante… itu adiknya beli di mana? Kok di mall nggak ada.”
Tetangga yang mendengar pertanyaan Wa langsung tertawa. Ujung-ujungnya perkataan mereka pun sama terhadapku, yakni untuk memberi adik pada Wa secepatnya.
Ada lagi yang membuat aku tersenyum heran dan selalu bertanya-tanya dengan celotehan Wa mengenai ayahnya. Ketika aku sibuk memasak, tiba-tiba Wa memanggilku untuk menonton TV. Benar-benar heboh ketika Wa memanggilku.
“Mia…Mia… cepat sini,” panggil Wa.
“Sebentar,” kataku.
“Mia… lihat itu kayak ayah ya…” kata anakku sambil menunjuk seorang artis tenar saat ini. Hah?? Nggak salah lihat kau nak, batinku.
“Masa sih?” tanyaku meyakinkannya.
“Iya, ayah cakep kayak yang di TV itu,” kata Wa lagi.
Huaaa…. aku tertawa geli mendengar ucapannya itu. Sorenya lagi-lagi artis yang tadi muncul di TV, memang tenar sih dan kebetulan suamiku sudah pulang dari kantor. Tak lama kemudian anakku kembali berceloteh mengenai artis yang ditontonnya itu.
“Apa nak? Ayah cakepnya kayak Afghan?” tanya suamiku girang.
“Iya, ayah cakep kayak yang di TV itu,” kata Wa lagi.
Gara-gara celotehan Wa ini suamiku selalu tertawa bangga di depanku. Padahal jelas-jelas yang dikatakan Wa tidak benar. Haduuuh…nak yang mirip apanya sich? Hehe…